Minggu, 31 Maret 2013

Dulu Pedagang Obat, Kini Sukses Jadi Pemilik Rumah Sakit



Tamkit-April 2010
Dra Saraswati Chazanah, MM


Ketua Umum Alisa Khadijah

Kelimpahan rezeki ternyata bisa membuat kita lupa bersyukur. Seperti pengalaman Ketua Umum Asosiasi Muslimah Pengusaha se-Indonesia, Alisa Khadijah, Dra Saraswati Chazanah, MM. Pemilik klinik dan rumah sakit ibu anak Selaras di Tangerang ini pernah menantang Allah saat dirinya melaksanakan umrah.

Ketika itu, ibu dua anak ini berpikir rezeki yang ia dapat dari Allah itu murni hasil kerja kerasnya. Ia pun 'menantang' sang Khalik, “Kalau memang Engkau pemberi rezeki, saya mau lihat apa yang akan Engkau berikan ketika saya buka puasa?” ujarnya seraya bertanya.

Saat azan, ia menutup Al-Qur'an. Matanya terbelalak. Setumpuk makanan dan minuman terhidang di depan mata! Ia pun langsung tersungkur, sujud syukur. “Saya ini tidak ada apa-apanya. Semua rezeki datangnya dari-Mu, ya Allah!” serunya dengan mata berkaca-kaca.

Pengalaman 'menantang' Allah itu membuat Saraswati tersadar. Sepulang dari Makkah, ia segera mengubah pola pikir dan cara berwirausaha. Kini, ia mengaku lebih tenang menjalankan usaha. “Saya hanya punya modal surat Al Waqiah, shalat malam, puasa Daud. Selanjutnya, semua kehendak Allah,” ujarnya mantap.

Kerja keras dibalut kepasrahan kepada Allah swt itu telah membawanya menuju pintu kesuksesan. Allah selalu memudahkan semua niatnya. Rezekinya pun semakin lancar bahkan tiap hari kian berlimpah. Subhanallah!

Dari pijakan yang kuat kepada Allah inilah, Saraswati mendirikan Alisa Khadijah. Perkumpulan pengusaha para wanita yang berkaca pada Islam dan cara berdagang istri Rasulullah, Siti Khadijah ra.


Tidak Terdidik Mandiri

Siapa sangka, wanita sukses ini dulunya bukan perempuan mandiri? Bahkan, untuk memilih baju pun ia tak mampu. “Saat remaja, saya sangat tergantung orangtua. Segala macam kebutuhan, mulai dari baju sampai sepatu, ibu saya yang pilihkan,” aku wanita berkacamata itu.

Tak pernah terbersit di benaknya untuk mengikuti jejak sang ibu menjadi pengusaha. Menurut perempuan kelahiran Jakarta, 10 Desember 1953 ini, menjadi pengusaha itu sulit dan repot. Buktinya, sang ibu harus harus berkali-kali ganti usaha seperti kontraktor, catering, butik.

Saraswati muda tak pernah berkeinginan menjadi pengusaha, ia melanjutkan pendidikan strata satu sebagai apoteker di Jurusan Farmasi di Christian Albert Universitat, Kiel, Jerman. “Dulu, saya bercita-cita jadi dokter. Tapi tidak jadi karena harus memotong kodok,” akunya sembari tertawa.

Di negara inilah Saraswati menemukan jati dirinya. Ia belajar mandiri dan disiplin. Awalnya, ia mengaku sulit bilang 'tidak' sementara warga Jerman terkenal to the point. “Kalau ya maka katakan ya. Semua mesti jelas dan tanggung jawab dengan keputusan yang sudah kita ambil,” ujarnya.


Dari Berdagang Jadi Pemilik Rumah Sakit

Pulang ke tanah air, Saraswati menjadi pribadi baru yang mandiri, disiplin dan berani mengambil keputusan. Modal ini menjadi pegangannya saat mulai berwirausaha. Ia pun berkaca dari pengalaman jatuh bangun usaha milik ibunya. “Kelak, ketika ingin membuka usaha sukses harus fokus, jangan seperti ibu,” tekadnya.

Waktu itu, suaminya baru lulus dari fakultas kedokteran. Mereka tak punya tempat tinggal, tak ada uang apalagi untuk memulai usaha. “Kami berangkat dari nol,” ujarnya mengenang.

Sebagai lulusan apoteker, ia pun berdagang obat dan alat kesehatan. Nah, hasil penjualan itu ia tabung untuk modal membuka usaha. “Saya memanfaatkan garasi mertua yang kosong menjadi kantor,” kata perempuan yang hobi membaca itu.

Tak ada usaha yang tidak pernah gagal. Pepatah ini tampaknya tepat untuknya. Saat sedang merintis Rumah Sakit Bersalin Selaras di Cikupa, Tangerang, usahanya terancam bangkrut. Padahal, ia belum balik modal sementara rumah menjadi jaminannya.

Ternyata, kesalahannya terletak pada lokasi rumah sakit yang tidak strategis. Tempat usahanya itu harus bersaing dengan bidan. “Warga sekitar lebih percaya bidan dari pada rumah sakit. Sementara pelayanan yang saya berikan sama dengan pelayanan bidan,” urainya.

Solusinya, ia bermitra dengan bidan dan mengubah RS Bersalin menjadi RS Ibu dan Anak Selaras. Kelebihan rumah sakit bisa melakukan tindakan operasi. Yakni, suatu tindakan yang tidak bisa dilakukan oleh bidan. Alhasil, pelayanannya lebih komplit.

Masalahnya, untuk merealisasikan solusi tadi, ia dituntut mengambil keputusan serba cepat dan tepat. “Uangnya dari mana? Ya, cari. Izinnya dari mana? Ya, diurus,” katanya.

Tak bisa dipungkiri, siapa pun yang berhadapan dengan situasi sepelik ini akan mengalami stres. Namun, ia mengaku sudah tahu obat penawarnya. Apa itu? “Puasa Daud dan berserah kepada Allah swt,” jawab warga Tangerang ini.

Seperti pepatah orang Jerman, Usaha atau kegagalan yang tidak membuat kamu mati akan menjadikan kamu lebih kuat. “Jangan takut gagal kalau mau sukses,” pesannya.


Tetap Eksis meski Tanpa Suami

Bagi Saraswati, usahanya yang nyaris bangkrut bukanlah episode terberat dalam hidup. Ia mengaku pengalaman menghadapi goncangan rumah tangga sampai harus berpisah dengan suami justru amat membekas. Padahal, waktu itu usahanya sedang berkembang pesat.

Otomatis, perempuan yang aktif sebagai bendaraha ICMI itu harus siap hidup mandiri bersama dua anak kandung dan tiga anak asuhnya. “Saya ini ibu tunggal,” akunya dengan suara terbata.

Akhirnya, perempuan yang menamatkan pendidikan S2 di Institut Bisnis dan Informatika Indonesia itu menemukan kepasrahan kepada Allah swt. “Saya beruntung sudah sempat mengaktualisasikan diri dengan berwirausaha,” katanya.

Perempuan yang sudah 15 tahun menjadi single parent itu kini hanya mengandalkan Allah sebagai tempat berkeluh kesah. “Jika Allah tidak memberikan cobaan kepada saya barangkali saya tidak sedekat ini dengan-Nya,” aku ibu dari Primpuna Habib dan Rachmat Armando itu.

Kini, Saraswati tinggal mengecap buah kesuksesannya. Bisnis yang ia lakoni selama 15 tahun terbilang lancar sementara anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak. Keberhasilannya di dunia bisnis diam-diam menular kepada anak bungsunya, Rachmat Armando yang kini masih kuliah kedokteran. “Aku mau jadi manager rumah sakit saja deh, seperti Mama,” katanya menirukan ucapan buah hati.


Membangun Bekal Akhirat 

Saraswati sadar banyak perempuan yang ingin mengikuti jejaknya. Masalahnya, mereka tidak tahu bagaimana caranya. Berangkat dari niat itu, ia pun mendirikan Alisa Khadijah.

Sengaja ia menyematkan nama istri Rasulullah, Siti Khadijah ra. Mengingat beliau dikenal sebagai pedagang sukses dan pendamping yang baik bagi suami. Makanya, ia ingin semua perempuan Muslimah mencontoh Khadijah.

Organisasi ini juga bertujuan saling menguatkan antar pengusaha perempuan. Apalagi, problem perempuan itu kompleks mulai dari mengurus suami, anak, sampai rumah tangga. Nah, lewat wirausaha ini mereka dapat mengaktuliasasikan diri sekaligus membantu ekonomi keluarga.

Kini, cabang Alisa Khadijah tersebar di 18 provinsi se-Indonesia. Kesuksesan mereka menular kepada banyak perempuan. “Tak perlu punya usaha untuk dapat bergabung. Ikuti saja seminar, bazar, pelatihan kami. Jika masih bingung, kami siap membantu dan mencari solusi agar bisnisnya bisa berjalan,” kata Saraswati.

Banyak yang ingin ia wujudkan pada organisasi yang terbentuk 1997 itu. Ia berharap organisasi ini dapat meningkatkan kepercayaan diri kaum perempuan. Selanjutnya, para ibu sukses tadi bersama suaminya dapat memberikan pendidikan layak bagi anak mereka. Kelak, ketika terjadi sesuatu dalam rumah tangganya, anak-anak dan keluarga tak mudah goncang. Sebab, sang ibu memiliki penghasilan.

Belakangan, Saraswati mulai merintis bekal untuk akhirat. Tiap bulan, ia menyisihkan penghasilan untuk mendirikan rumah sakit di Cisauk, Tangerang. Rencananya, semua laba dari rumah sakit itu ia berikan kepada yatim piatu. “Jika niatnya baik, Insya Allah jalannya mudah,” pungkasnya mantap.

Ratna Kartika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar